Jaffrey Lang Berkisah Tentang Adam dan Hawa
Jeffrey Lang adalah satu diantara sedikit warga kulit putih Amerika Serikat yang telah menemukan cahaya Islam dan saat ini tengah menikmati indahnya memperoleh hidayah dari Allah SWT. Sebagai seorang mualaf, Jafrrey Lang memiliki pengalaman yang sangat menarik untuk disimak. Sebelum memutuskan memeluk Islam beliau telah mempelajari Al Qur’an dengan demikian kritis dan penuh pengujian mendasar. Diantara yang coba beliau kritisi saat itu adalah masalah dosa manusia pertama yakni Nabi Adam dan Siti Hawa. Berikut ini adalah penuturan beliau tentang kisah tersebut:
“Kisah dalam Al Qur’an memiliki banyak persamaan dengan kisah dalam Al Kitab. Pada ayat 30-39 surat Al Baqarah disuguhkan kisah tentang pria dan wanita pertama. Aku membaca ayat-ayat itu beberapa kali, tetapi tidak kunjung sanggup menangkap apa persisnya yang hendak dikatakan Al Qur’an watch "Adam & Eve's "Slip" From the Garden"
Bagiku, Al Qur’an sepertinya sedang menyampaikan sesuatu yang sangat mendasar atau mungkin keliru. Aku membaca lagi ayat 30 secara perlahan dan seksama, baris demi baris, untuk memastikan apakah ayat ini menyampaikan sebuah paparan logis.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 30)
Ayat ini menyergapku, bukan karena dimulai dengan kisah mengenai pria dan wanita pertama, tetapi karena cara penyampaiannya. Setelah membacanya beberapa kali, aku tiba-tiba merasa sangat kesepian seakan-akan penulis Kitab Suci itu telah menarikku ke dalam suatu ruang hampa dan sunyi untuk berbicara langsung hanya denganku sendiri.
Mula-mula, aku bertanya apakah penulisnya salah dengar atau salah paham soal kisah tradisional tentang Adam dan Hawa (maksudnya berdasarkan Al Kitab,-red), sebab ayat tersebut menolak seluruh inti kisah dan tujuan penciptaan mereka. Tetapi, setelah membacanya untuk kedua, ketiga, dan keempat kalinya, aku mulai merasakan bahwa penulisnya sengaja mengubahnya dan memodifikasi detail-detail cerita kuno itu.
Allah memfirmankan ayat ini di surga dengan maksud memberitahu para malaikat bahwa Dia akan menempatkan manusia di bumi untuk mewakili-Nya: “Sesungguhnya, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Tuhan salah, protesku. Manusia ditempatkan di bumi bukan untuk berbuat kebaikan; manusia ditempatkan di bumi sebagai hukuman lantaran dosa Adam. Tetapi, tiada kata-kata dalam ayat tersebut yang menceritakan kesalahan Adam atau Hawa, dan seperti dituturkan ayat-ayat selanjutnya, tak ada informasi perihal dosa itu.
Adalah para malaikat yang mengajukan keberatan sewajarnya: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?” Pertanyaan para malaikat ini tentunya sangat signifikan sebab dilontarkan di dalam surga-yang suci.
Setelah akhirnya menciptakan makhluk yang memiliki banyak kekurangan ini, Tuhan menempatkannya di sebuah lingkungan yang di dalamnya makhluk tersebut dapat mengumbar hasrat-hasratnya yang paling liar apabila dia berjauhan dari-Nya. Dengan perkataan lain, mengapa Tuhan menciptakan makhluk jahat ini dan menempatkannya di bumi padahal Dia dapat dengan mudah menciptakan malaikat dan menempatkannya di surga?
Inilah pertayaanku! Keberatanku! Hidupku dihantui oleh tiga atau empat pertanyaan di atas! Aku merasa seolah-olah Al Qur’an sedang mengaduk-aduk emosiku, menggunakan kisah tersebut untuk memprovokasiku. Lalu, masalahnya menjadi semakin kacau ketika Tuhan menjawab pertanyaan malaikat-malaikat itu dengan sekedar berkata, "Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Seakan-akan, Dia berkata, “Aku tahu persis apa yang sedang Aku lakukan.”
Engkau tak dapat hanya berkata demikian! Aku protes dalam hati. Engkau tak bisa sekedar berkata seperti itu padaku. Engkau tak bisa menyakitiku, membangkitkan kemarahanku, dan mempermainkan hidupku. Engkau tak bisa mengatakan semua itu didepanku, dan kemudian menutupnya dengan kata-kata, “Aku tahu apa yang sedang Aku lakukan.”
Lalu, aku termenung: Aku sedang mengeluh kepada Tuhan yang tak kupercayai keberadaan-Nya.
Dalam Alkitab, setelah para malaikat bertanya, Tuhan mengguncang kesadaran pembaca dengan kembali pada kisah tradisional. Di sini Dia berkata: “Ya, kalian para malaikat benar sekali mengenai sifat manusia, dan karenanya Aku akan menghukum mereka dengan membiarkan pasangan ini dan seluruh keturunannya menderita di bumi karena mereka berdua telah berbuat dosa.” Jawaban ini belum sepenuhnya menjawab pertanyaan para malaikat sebab menerangkan mengapa Tuhan menciptakan makhluk jahat semacam itu, tetapi jawaban tersebut berbalik pada ide bahwa hidup di dunia adalah hukuman atas dosa manusia, bukan kesempatan bagi kita untuk beribadah sebagai wakil-Nya.
Segeralah tampak jelas di mataku bahwa Al Qur’an mempunyai agenda lain, bahwa Kitab Suci ini mengandung sebuah pesan dan pandangan yang sama sekali berbeda. Alih-alih menuturkan kembali kisah tradisionalnya, Al Qur’an justru menjawab pertanyaan para malaikat dengan memperlihatkan kemampuan akal manusia, pilihan moral dan akhirnya bimbingan ilahi:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama (benda-benda), kemudian memperlihatkannya kepada para malaikat, dan Dia berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar.” (QS. Al Baqarah: 31)
Aku teringat bahwa dalam Alkitab Adam menyebut nama makhluk-makhluk di sekelilingnya, tetapi ini tidak menjelaskan justifikasi (kemampuan untuk pertimbangankan dengan hati nurani,-red) kemanusiaannya. Lain halnya dengan Al Qur’an, yang menjawab pertanyaan para malaikat dengan menunjukkan justifikasi kemanusiaannya.
Aku terpesona dengan cara Kitab Suci Al Qur’an mewadahi makna hanya dalam beberapa patah kata. Coba perhatikan bahwa Adam tidak sekedar menyebut nama benda-benda di sekitarnya, tetapi Tuhan mengajarinya, yang berarti hal ini menegaskan kemampuan manusia untuk belajar, yakni kecerdasannya. Perhatikan pula apa yang Adam pelajari. Dia mempunyai kemampuan untuk menyebutkan nama “seluruh benda”, untuk menyebutkan simbol-simbol verbal segala sesuatu yang diketahuinya, seluruh pikiran, pengalaman, dan perasaannnya. Di antara semua karunia intelektual manusia, kemampuan bahasa manusialah yang paling ditekankan Al Qur’an. Jelaslah ini dikarenakan kemampuan bahasa adalah peranti intelektual yang amat canggih yang membedakan manusia dari semua makhluk bumi lainnya. Dengan kemampuan bahasa ini, lebih daripada kemampuan lain, manusia tumbuh, berkembang dan belajar secara individual maupun kolektif, sebab kemampuan bahasa menjadi alat untuk belajar dan mengajari orang lain yang tak sempat bertatap muka dengan kita-lewat tulisan-, termasuk orang-orang yang secara ruang dan waktu sangat jauh dari kita. Artinya, seluruh manusia dikaruniai dengan sebuah ‘sifat kumulatif’ yang amat maju.
Selanjutnya, Allah meletakkan benda-benda yang nama-nama mereka disebutkan oleh Adam di depan para malaikat dan berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar.” Ini secara gamblang memperlihatkan bahwa akal manusia merupakan argumen yang sangat penting dalam jawaban Tuhan atas pertanyaan para malaikat. Malaikat-malaikat bertanya mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang kasar dan jahat dengan asumsi bahwa mereka lebih unggul, sebab mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak Tuhan, memuji, dan menyucikan-Nya. Al Qur’an rupanya hendak menyatakan dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya bahwa ada sifat-sifat lain, yang membuat manusia setidaknya berpotensi lebih mulia daripada malaikat di hadapan Tuhan.
Mereka berkata: “Maha Suci Engkau, tak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah: 32)
Malaikat-malaikat mengakui ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan Allah. Mereka tidak memiliki kelebihan akal untuk menciptakan simbol dan konsep bagi diri mereka. Mereka mengatakan bahwa untuk menciptakan semua itu dibutuhkan pengetahuan dan kearifan yang berada di luar batas kesanggupan mereka.
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan? (QS. Al Baqarah: 33)
Aku mulai percaya bahwa penulis Kitab Suci Al Qur’an bukan tidak mengetahui kisah penciptaan Adam dalam Alkitab, tetapi Dia menceritakannya kembali dengan menyuguhkan makna yang orisinil. Tuhan berfirman bahwa benarlah Dia telah menganugerahi manusia kemampuan untuk berbuat salah, tetapi juga memberikannya kemampuan-kemampuan lain yang sangat unggul yang tidak diberikan kepada malaikat.
Al Qur’an menyatakan: “Dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan yang kamu sembunyikan.” Apa yang malaikat sembunyikan? Aku bertanya. Aku tahu para malaikat keberatan karena hanya memperhatikan satu sifat manusia, yaitu kemampuannya untuk berbuat kerusakan dan kesalahan. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui, sebagaimana diriku, sifat lainnya. Sesungguhnya, sebagian manusia dapat berbuat amat jahat, tetapi sebagian lainnya dapat berbuat luar biasa baik. Sebagian orang benar-benar rela berkorban, bertindak adil, senang berderma, murah hati, dan ramah. Namun diriku, sebagaimana para malaikat, tidak memikirkan sifat-sifat ini. Lama sekali aku hanya memperhatikan sisi gelap manusia.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” mereka pun bersujud kecuali iblis; ia menolak dan menyombongkan diri; dan ia termasuk golongan yang tidak beriman. (QS. Al Baqarah: 34)
Apabila semula aku meragukan kata-kata Al Qur’an bahwa manusia berpeluang menjadi lebih mulia daripada para malaikat, ayat tersebut di atas telah menyingkirkan keraguan itu. Ketika Adam mampu memperlihatkan kemampuannya dan para malaikat tidak mampu, Tuhan berfirman pada mereka, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Mereka pun sujud dan mengakui kelebihan Adam. Sujud juga merupakan simbol ketundukan dan Al Qur’an menunjukkan bahwa para malaikat di kelak kemudian hari akan melayani manusia di bumi.
Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah olehmu dan istrimu surga ini, dan makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-oramg zalim.” (QS. Al Baqarah: 35)
Aku semakin tidak percaya pada Kitab ini. Ayat-ayat pembukaannya sangat menarik, tetapi cerita Adam dan Hawa sekarang jelas berbalik lagi ke versi Alkitab: Adam dan Hawa makan buah itu dan kemudian dihukum hidup di bumi. Tetapi, ada yang sangat aneh dari ayat ini. Dalam cerita Alkitab Tuhan sepertinya merasa khawatir dan mengancam manusia yang memakan buah itu, sebab ini merupakan buah pengetahuan dan kekekalan, dan bila manusia memakannya mereka akan menjadi tuhan-tuhan yang menyaingi Tuhan.
Akan tetapi, dalam ayat ini, Tuhan sepertinya amat tenang dan bisa menguasai diri sepenuhnya. Tak ada kata yang mengindikasikan bahwa buah pohon itu sangat mempengaruhi Adam dan Hawa. Tampaknya, pohon itu disebut begitu saja. Al Qur’an kemudian menjelaskan bahwa setan menggoda pasangan Adam dan Hawa dengan mengatakan bahwa jika memakan buah tersebut, mereka akan meraih kehidupan abadi dan kerajaan yang tidak akan binasa. Tetapi perkataan ini berasal dari setan. Tidak ada isyarat bahwa Tuhan merasa khawatir kalau-kalau pasangan ini akan mengingkari-Nya; Dia sekedar memberitahu bahwa andaikata mereka memakannya, berarti mereka telah melakukan dosa.
Kita pun tidak tahu apakah itu merupakan larangan pertama Tuhan kepada Adam dan Hawa. Al Qur’an tidak menyebutkannya. Mungkin saja ada larangan-larangan lain yang sebelumnya telah Tuhan sampaikan. Kita hanya tahu bahwa larangan ini merupakan yang pertama-tama mereka langgar. Aku bertanya-tanya apakah peristiwa ini menyiratkan sebuah makna yang amat penting-bahwa itulah pilihan bebas pertama Adam dan Hawa, itulah kali pertama mereka memilih selain apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan di bumilah tempat tinggalmu dengan segala kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al Baqarah: 36)
Setelah membaca ayat ini, aku siap untuk menutup Al Qur’an dan menyimpannya sebab sekarang aku yakin Kitab Suci ini telah meretas jalan pertamanya dan berpulang pada kisah tradisional Adam dan Hawa bahwa kehidupan kita di bumi sebenarnya merupakan hukuman atas dosa mereka berdua. Tetapi, sekali lagi sebagian kata dalam ayat tersebut masih membingungkanku. Mengapa ayat itu menyebut dosa terbesar dalam sejarah manusia-dosa yang menyebabkan kita semua menderita, mengalami kesulitan, dan mati di dunia- hanya sebagai “digelincirkan”? Sebuah kesalahan kecil yang tak membawa konsekuensi serius. Semula, aku berpikir ini pasti salah terjemahan, tetapi aku segera tahu dari teman-teman Arabku bahwa kata Arabnya adalah azalla yang maknanya sama persis dengan makna terjemahannya. Mengapa begitu? Apakah penulis Kitab ini tidak tahu betapa besar dosa Adam dan Hawa?
Aku surut ke belakang dan beberapa kali membaca ulang ayat ini dan ayat sebelumnya. Dan pertanyaan berikut inilah yang menghampiriku: Apakah pasangan Adam dan Hawa benar-benar melakukan dosa yang sedemikian besar? Mungkin aku termasuk orang yang tidak dapat berlepas diri dari tafsir tradisional. Barangkali aku menolak pesan Al Qur’an. Akan tetapi, setelah kupikir-pikir, senyatanya Adam dan hawa tidak melakukan pembunuhan, perkosaan, perzinahan, atau penganiayaan. Mereka hanya memakan buah suatu pohon.
Aku merasa bahwa pemilihan kata “digelincirkan” untuk menyebutkan dosa mereka sepenuhnya tepat. Hal ini juga akan menjelaskan ketenangan penulis Kitab Al Qur’an dalam menyampaikan pesan itu. Alih-alih penulisnya mengatakan pada pasangan Adam dan Hawa bahwa mereka akan sangat menderita di bumi, mereka sekedar diberitahu bahwa, “di bumilah tempat tinggalmu dengan segala kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” Ini bukanlah kata-kata Tuhan yang sedang marah atau menghardik.
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 37)
Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan kemarahan Tuhan tetapi malah menekankan ampunan dan kasih sayang Tuhan. Ayat selanjutnya menunjukkan bahwa kata-kata yang Adam terima dari Tuhannya adalah kalimat pelipur lara yang sarat dengan harapan.
Kami berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah: 38)
Kita mendapati bahwa Allah mengampuni dan membantu Adam dan Hawa, tetapi mengapa kemudian Dia tidak mengembalikan mereka ke surga? Bila Tuhan mengampuni pasangan itu, mengapa Dia tetap menempatkannya di bumi?
Jawabannya muncul dikepalaku secepat datangnya pertanyaan itu: sebab kehidupan di bumi, menurut Al Qur’an bukanlah hukuman. Sejak awal dituturkannya kisah ini, Tuhan menegaskan bahwa keberadaan kita di bumi mempunyai tujuan yang lebih besar. Sejauh ingatanku, kisah Adam dan Hawa dalam Al Qur’an seluruhnya koheren. Coba perhatikan bahwa Al Qur’an mengulang lagi perkataan “Turunlah kamu dari surga itu!” dalam ayat 38, tetapi kali ini disertai dengan kata-kata yang menekankan ampunan, hiburan, dan jaminan Tuhan pada mereka. Seakan-akan, Al Qur’an berkata kepadaku dan semua orang, “Tuhan tidak menempatkanmu di bumi untuk menghukummu.”
Adapun orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah: 39)
Mengapa Al Qur’an berkata demikian? Aku merasa diserang oleh ayat tersebut, tetapi persinggungan yang singkat dengan Al Qur’an telah mengajariku bahwa ketika sebuah ayat menyerangku, ia seringkali mengandung isyarat penting.
Syahdan, kita dapat secara tegas mengatakan bahwa Tuhan Maha Esa benar-benar ada. Apakah orang-orang dengan sengaja menolak dan mengingkari ayat-ayat-Nya, ataukah mereka melakukannya karena ayat-ayat tersebut terlalu kabur? Apakah mereka secara sadar menolak apa yang mereka rasakan benar? Apakah mereka secara sengaja mengingkari suara hati mereka?
Tentu saja mereka secara sengaja mengingkari suara hati mereka, demikian pula aku. Berkali-kali aku menolak, menelikung, dan memanipulasi kebenaran untuk memperturutkan hawa nafsu. Berulangkali aku merasionalkan tindakan-tindakan merusak dan menolak untuk mengakui kekeliruanku, bahkan dihadapan diri sendiri. Andai Tuhan memang ada, pikirku, selama ini aku pasti telah mengabaikan ayat-ayat-Nya.
Manusia, pria dan wanita, adalah makhluk bermoral, makhluk yang memiliki hati nurani dan perasaan yang kuat untuk membedakan mana yang salah dan benar. Mereka dikaruniai dengan dorongan baik dan dorongan jahat, dan harus memilih salah satunya. Tuhan telah menganugerahi manusia dengan kesadaran untuk memilah kebenaran dan kekeliruan moral, dan memberi mereka kemampuan untuk menjalankan pilihan-pilihan moral mereka. Hal ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menyadari kesalahan mereka dan mengoreksinya. Dan yang jelas, kehidupan di dunia dan kesengsaraan manusia tak dimaksudkan untuk menghukum mereka.
(dikutip dari buku berjudul ‘Losing My Religion: A Call for Help’ karya Jaffrey Lang dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Aku Beriman, maka Aku Bertanya’ halaman 40-56 dan 93-94)
-Nelly, Januari 2008- http://swaramuslim.com/islam/more.php?id=5497_0_4_0_M
Baca Juga: Jerry D. Gray Masuk Islam karena Logika
saya telah membaca uraian ini,coba ganti baca uraian saya tentang Adam dan Hawa berikut dosanya dengan mengunjungi frethariyanto.blogspot.com,salam persahabatan,ass wr wb1
ReplyDeleteThiss was a lovely blog post
ReplyDelete